Menelusuri Ruh dan Jiwa-Ruh adalah hakikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu. Dalam al Qur'an dijelaskan, Allah SWT meniupkan ruh ke dalam tubuh Adam AS untuk menghidupkannya (QS as-Sajadah [32]: 9). Demikian juga ke dalam rahim Maryam ketika mengandung Isa AS (QS al-Anfal [8]: 12 dan 66).
Ruh merupakan zat murni yang tinggi, hidup, dan hakikatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindera, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menelusupnya air di dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah, untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh itu mampu menerimanya.
Dalam al Qur'an, ruh terkadang diartikan dengan malaikat dan wahyu. Di samping itu, beberapa pakar tafsir mengartikan ruh dengan jiwa. Dalam al Qur'an kata an-nafs diartikan dengan jiwa. Seperti kata-kata an-nafs al-mutma’innah (jiwa yang tenang) pada Surah al-Fajr [89]: 27. Dalam ayat ini bisa dimaknai, kata ruh mempunyai pengertian yang sama dengan an- nafs. Adapun perbedaannya terletak pada penggunaannya saja.
Misalnya, dalam ayat yasalunaka ‘an ar-ruh, qul ar-ruh min amri Rabbi (Bila mereka bertanya padamu tentang ruh, maka katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanmu) dan ayat ya ayyatuha an-nafsu al-mutmainnah irji’i ila Rabbiki radiatan mardhiyyah (wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu).
Ulama abad ke-10, Ibnu Sina, membagi jiwa atas tiga macam, an-yaitu jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyah), jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah), dan jiwa insani (nafs al-insaniyah). Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi makan, tumbuh, dan berkembang. Jiwa hewani adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan kehendak. Sedangkan, jiwa insani adalah kesempurnaan awal bagi benda yang hidup dari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.
Jiwa insani inilah yang dinamakan dengan ruh, sebagaimana para filsuf Islam menyamakannya dengan jiwa manusia. Sebelum masuk atau berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al 'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan dan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.
Imam al-Ghazali mengartikan an-nafs berdasarkan arti khusus dan arti umum. Dalam arti khusus, an-nafs merupakan sumber akhlak yang tercela dan harus diperangi. Sedangkan dalam arti umum, an-nafs adalah suatu jauhar yang merupakan hakikat manusia, yang oleh para ahli filsafat Islam disebut dengan an-nafs an-natiqah. Selanjutnya, Imam al-Ghazali menambahkan bahwa kalbu, ruh, dan an-nafs al- mutma’innah merupakan nama-nama lain dari an- nafs an-natiqah yang hidup, aktif, dan mengetahui.
Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah an-nafs dan ruh, juga ditemukan istilah al qalb (kalbu) dan al 'aql (akal). Empat istilah tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Perbedaannya terletak pada penggunaan arti. Para sufi mengartikan an-nafs sebagai sumber moral yang tercela, sedangkan ruh merupakan sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ruh juga sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah SWT yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah SWT memberikan kasyf (gambar yang terbayang) kepadanya.
Al qalb atau kalbu diartikan sebagai wadah untuk makrifat, suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Ilahiah. Ini dimungkinkan jika hati telah bersih sebersih-bersihnya dari hawa nafsu, melalui pola hidup yang zuhud, wara', dan zikir secara terus menerus.
Sedangkan, al 'aql atau akal diartikan sebagai alat untuk mengetahui ilmu yang diamati dari pancaindera atau dari hal-hal yang zhahir (lahir). Karena itu, tingkatnya berada di bawah tingkatan al qalb.
Para cendekiawan Muslim banyak yang memilih diam dalam mempelajari asal usul ruh. Mereka mengemukakan alasan jiwa atau ruh itu adalah urusan Allah SWT yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali hanya Allah SWT (QS al-Isra’ [17]: 85).
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat, segala yang dinisbahkan kepada Allah SWT ada dua macam. Pertama, yang tidak dapat berdiri sendiri yang memang bukan makhluk seperti sifat-sifat Allah SWT. Kedua, yang dapat berdiri sendiri, seperti dalam al Qur'an disebutkan Rasul Allah SWT dan ruh Allah SWT. Ini semua adalah makhluk Allah SWT, dinisbahkan kepada Allah SWT sebagai pemuliaan kepada Allah SWT.
Hubungan ruh dengan jasad dikemukakan oleh filsuf Islam, al-Farabi dan Imam al-Ghazali. Al-Farabi mengatakan, jiwa atau ruh merupakan bentuk bagi jasad di satu pihak dan jauhar ruhani di lain pihak. Ruh selalu bekerja melalui jasad dan jasad membentuk sasaran ruh. Ruh atau jiwa tidak akan ada jika jasad tidak bersedia menerimanya.
Dalam hal kerja ruh atau jiwa ini, Imam al-Gazali membaginya ke dalam dua macam arti. Pertama, dalam arti materiil (ruh hewani). Kedua, dalam arti immateriil (ruh insani). Dalam arti pertama, jiwa adalah organ jasad yang bekerja sebagai daya penggerak maupun daya yang mengetahui. Arti kedua, jiwa adalah nafs natiqah dengan daya praktik dan teori. Hubungan kedua macam jiwa ini dapat diketahui dengan ilham (ilmu mukasyafah) yang merupakan pembuka tabir hakikat hubungan keduanya karena kesulitan terletak pada perbedaan hakikat antara jiwa dan jasad.
Jiwa sebagai jauhar ruhani berasal dari alam Ilahi (alam malakut), sedangkan jasad berasal dari alam kejadian (khalq). Namun, yang jelas, menurut Imam al-Ghazali, jasad bukan tempat ruh karena sifat jauhar tidak mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan alat. Ruh mendatangi jasad sebagai substansi yang juga diperlukan oleh jasad bantuannya.
Ruh mengatur dan ber-tasarruf (bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaannya. Keperluan ruh terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi musafir. Seseorang tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami jasadnya selama di dunia. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi.
Imam al Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling memengaruhi. Di sini Imam al Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal, atau ruh, tetapi merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat itulah yang dinamakan manusia.